Aku Bukan Bedes
Oleh: Djacka Artub
Di bawah redup pijar sang lintang panjer rino, bersandar pada tiang penyangga teras ia menatap langit-langit teras rumahnya yang sudah banyak ditumbuhi sarang laba-laba. Pandanganya kosong seakan tiada harapan untuk menyongsong mentari yang mulai nampak menyembul di ufuk timur. Rembulan di ufuk barat yang samar terlihat men-sabit nyelirit seperti alis burung emprit itu pun hanya terdiam pasrah menerima takdirnya yang sebentar lagi akan berakhir di awal hari akhir bulan hijriah.
"Des,...!" Seru suara seorang wanita dari dalam rumah. Namun tak sedikitpun yang dipanggilnya itu memberi respon walau sekedar memalingkan muka ke arah pintu.
Untuk kedua kalinya, tak dihiraukan juga seruan-seruan itu. Hingga untuk ketiga kalinya, dengan suara lantang dengan segenap kekuatan yang tersisa setelah semalaman kerja lembur melebur adonan kerupuk puli, wanita itu berteriak histeris memanggil anaknya yang tidak menyahut sama sekali setiap kali dipanggil. "Des! Kamu itu tuli ya? Berulang kali dipanggil tidak menjawab! Apakah kamu sudah bisu?" Hardiknya.
"Aduh! mama,...!! Kalau panggil aku tuh jangan pakai sebutan itu napa? Aku tuh malu, Ma, dipanggil dengan sebutan itu_..." Dengan santai, Desy menjawab ocehan sang mama.
"Malu? Maksud kamu?" Sang Mama bingung.
"Udah_lah, Ma,... Mulai saat ini jangan panggil aku dengan sebutan itu lagi!" Ucap Desy sambil berlalu meninggalkan mamanya yang masih dalam kebingungan. Desy berjalan menuju pekarangan rumah kosong yang terdapat pohon beringin tua di sana. Rumah itu berada di seberang jalan di depan rumahnya yang berjarak beberapa meter jauhnya.
Sang Mama semakin bingung oleh tingkah laku dan kata-kata yang keluar dari mulut anaknya yang akhir-akhir ini sering tidak menghiraukan ketika dipanggilnya. "Ada apa dengan anak ini? Apa sudah njalok kawin (minta dinikahkan)?" Sang Mama mengira-ngira.
Dengan langkah cepat, sang Mama mengikuti anaknya yang bertingkah aneh di pagi yang masih buta itu. Ia takut anaknya sedang gagal memadu asmara dan berniat gantung diri di pohon beringin tua itu. "Atau jangan-jangan__Desi sedang kesurupan?" Pikir Mamanya lagi. Ia mempercepat langkah kakinya untuk menyusul Desy, anak perempuan satu-satunyanya karena Desy tidak memiliki saudara.
Fajar baru saja menyingsing ketika kedua kaum hawa yang berbeda usia itu berkejaran menyusuri rerumput dan kerikil jalanan yang terasa lembab oleh tetesan embun pagi hari itu. Namun karena perbedaan usia yang terpaut jauh, tentu saja yang muda lebih gesit dan irit__lari dan nafasnya. Sedangkan yang lebih tua sudah ngos-ngosan dan terseok-seok dalam berlari pagi, tetapi belum juga dapat menggapai cita-cita untuk mengejar yang di depannya. Yang muda masih menjadi yang terdepan dan semakin di depan.
Desy sudah berada di seberang jalan__tepatnya dibawah pohon beringin tua yang ada di halaman rumah kosong yang berjarak sekitar limapuluh meter di depan rumahnya. Sedangkan sang Mama masih berada di seberangnya. Ia berhenti, membungkuk memegangi lutut sambil menarik-ulur nafasnya yang terengah-engah__hampir saja terputus. Namun karena rasa kekhawatiran akan keselamatan putrinya, sebagai seorang ibu akan melakukan apa saja agar tidak terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan terhadap putrinya tersebut. Wanita itu hendak kembali melanjutkan langkahnya guna menyadarkan sang anak. Namun apa daya, ia tak lagi kuasa berjalan__apalagi berlari. Wanita itu berdiri berpegangan pada pohon jambu air yang tumbuh liar di sisi jalan.
Seorang pemuda tampan namun berbadan cungkring sedang berolah raga__berlari pagi melalui jalan yang masih nampak berkabut. Seketika pemuda itu berhenti berlari ketika tatapan matanya tertuju pada sesosok yang berdiri agak membungkuk di bawah pohon jambu. Ia terkejut dan hampir saja pingsan kalau saja obyek yang dilihatnya itu tidak menyapanya, "Nang, Arba'in,..." lirih suaranya dan terputus oleh nafas yang terengah-engah. "Tolong, Nang,..." Suaranya terputus lagi. Pemuda cungkring itu pun gagal pingsan karena ia sangat mengenali suara seorang wanita yang didapatinya di bawah pohon jambu tersebut.
"Ada apa, Mak?" Jawab Arba'in dan segera memapah Mak Rini.
"Tolong ... " Suara Mak Rini masih tersengal-sengal. Terengah-engah nafasnya. Ia menunjuk pohon beringin yang terdapat di seberang jalan. Dan Arba'in segera mengarahkan pandangannya ke arah pohon beringin yang ditunjuk oleh Mak Rini tersebut.
Melihat sesuatu yang menggelantung di antara rerimbunan pohon beringin, Arba'in yang memapah Mak Rini, pada akhirnya ia menyembunyikan mukanya pada dada Mak Rini. "PLAK! BRUGH!" Arba'in digampar oleh Mak Rini dan jatuh tersungkur dalam sekali gampar. "Kae, tulungi si Desy (itu, tolong si Desy)!" Mak Rini kembali menunjuk ke arah pohon beringin.
Tersadar apa yang terjadi, Arba'in si pemuda cungkring itu segera bangkit berniat menolong Desy yang hendak diserang oleh monyet yang sedari tadi menggelantung di atas pohon beringin. "Oalah, Des__Bedes!" Seloroh Arba'in sambil mengusap-usap wajahnya yang merah karena tergampar.
"Apa kamu bilang? Anakku kau sebut 'Bedes'?" Seru Mak Rini lagi, "PLAK!" dua kali kena gampar, Arba'in tak sadarkan diri.
Ket: Bedes adalah monyet/monkey