Moon On the Hospital
Saat itu waktu sudah menunjukkan pukul dua malam. Karena aku sudah terbiasa melek semalam karena tugas kerja, jadi meski waktu sudah menjelang dini hari aku masih belum merasakan ngantuk.
Kisah ini aku alami di sebuah rumah sakit umum yang ada di daerah tempat tinggalku (maaf, untuk nama rumah sakitnya sengaja tidak aku sebutkan). Waktu itu aku sedang menunggui orang tuaku yang sedang opname di rumah sakit umum tersebut. Dan karena kami hanyalah golongan masyarakat yang kurang mampu, jadi tidak mungkin bagi kami mampu untuk menyewa kamar VIP.
Seperti yang biasa terjadi, bagi masyarakat kurang mampu yang hanya menyewa kamar kelas ekonomi, satu ruang tentunya diisi oleh beberapa pasien. Alhasil, keluarga yang menunggu pun lebih banyak yang tidur di luar ruangan.
Pada awalnya aku bersama orang-orang yang juga menunggui keluarganya yang sakit, kami ngobrol ngalor-ngidul di luar ruang pasien tentang keseharian kami. Namun karena waktu sudah terlarut malam, orang-orang yang awalnya ngobrol bersamaku satu persatu sudah mulai dihinggapi rasa ngantuk dan akhirnya semuanya terlelap dalam tidurnya. Sementara aku masih sibuk bermain hape karena mata masih kinclong.
Kesunyian makin terasa ketika kulihat di sudut-sudut ruas luar ruangan semua orang sudah tertidur. Hanya suara dengkuran orang-orang yang telah terlelap itu berlomba dengan suara-suara gemericik air selokan yang mengalir dari ruang-ruang perawatan. Hawa dingin pun semakin terasa membekukan tulang-tulang sumsum. Kucoba mengusir sepi dan hawa dingin yang semakin kuat itu dengan berjalan dari lorong ke lorong rumah sakit.
Sebagai awal dari sebuah keganjilan, sebenarnya saat aku masih ngobrol bersama para penunggu pasien lain tersebut sudah terdapat sebuah tanda-tanda. Di saat kami asik ngobrol, tetiba sebuah pintu yang ada di belakang kami itu seperti ada yang menggedor. Lebih tepatnya seperti suara pintu yang tertutup dengan keras. Tetapi setelah kami periksa, pintu itu terkunci dengan rapat. Dan di dalam ruangan yang pintunya mengeluarkan suara itu adalah ruangan kosong. Tidak ada pasien, tidak ada aktivitas di dalamnya. Embus angin pun tak kami rasakan. Dari mana atau apa penyebab suara pintu itu, kami hanya saling bertanya dan mengira-ngira saja bahwa pintu itu ditabrak oleh kucing atau pun tikus. Tetapi kami lihat seisi ruangan tidak ada seekor binatang pun yang terlihat. Ruangan itu terlihat terang dan seluruh isi ruangan dapat dilihat dari luar karena daun pintunya terbuat dari kaca yang bening.
Udara dingin semakin terasa membekukan tulang sumsum dan persendian padahal embus angin hanya terasa datar saja. Di sebuah lorong rumah sakit kulihat seorang wanita sedang duduk sendirian di kursi ruang tunggu pasien. Tidak ada siapa pun di sana selain wanita itu. Rambutnya yang panjang terurai terlihat dari belakang. Aku memutar ruangan untuk mencoba melihat wanita itu dari depan. Setelah aku sampai di tempat yang posisinya berada di depan wanita itu, tetapi agak jauh, tak kulihat wajah wanita itu dengan jelas karena ia sedang menunduk.
Dengan perasaan sedikit was-was, kucoba beranikan diri untuk mendekati seorang wanita yang kulihat sedang duduk sendirian di ruang tunggu sebuah rumah sakit umum itu. Perlahan kulangkahkan kaki di antara rasa penasaran dan keraguan. Jarak antara aku dan wanita itu semakin dekat. Namun kejelasan tentang raut wajah wanita itu tak jua nampak jelas. Jantungku semakin berdegup kencang. Kutarik nafas dalam-dalam dan kuembuskan perlahan untuk menenangkan diri. Aku duduk di bangku ruang tunggu, se-ruang dengan wanita itu tetapi agak jauh. Aku menjaga jarak.
Kuperhatikan dengan seksama wanita yang sedang duduk merunduk itu. Kuperhatikan terus menerus wanita itu dari ujung kaki hingga kepala. Tak ada yang janggal. Kaki wanita itu pun menyentuh lantai.
Sayup kudengar nyanyian yang terdengar merdu tetapi sangat menyayat. Bersamaan dengan itu, wanita tersebut mengangkat kepalanya dan terlihatlah raut wajahnya dengan jelas. Jantung semakin cepat berdegup. Sangat kencang. Aku tercengang dan serasa tak dapat menggerakkan organ-organ tubuhku. Hanya tatap mataku yang tak lepas dari pandangan ke arahnya. Seketika detak jantungku terasa berhenti berdetak di saat ia melempar senyum kepadaku. Wajahnya begitu cantik dengan kulitnya yang putih bersih. Senyum yang merontokkan dinding-dinding keyakinan itu terulas jelas namun hanya sejenak.
Tahu aku selalu memperhatikannya, wanita itu berdiri dan berjalan dengan menundukkan kepala. Tetapi masih terlihat nyata bahwa ia tersenyum tersipu-sipu. Dan nyanyian merdu yang sebelumnya terdengar itu seketika berhenti dan terdengar suara lembut, "Halo, Mas, Ibu opname di rumah sakit," kata wanita itu melalui ponselnya. Aku tidak tahu dengan siapa ia berbicara, mungkin saja dengan saudaranya yang jauh. Dan aku pun tak tahu apa saja yang dibicarakan wanita itu dengan lawan bicaranya di ponsel itu karena ia berbicara sangat pelan dan agak jauh dariku.
Aku masih duduk di ruang tunggu pasien sambil sesekali mengutak-atik ponselku untuk mengusir sepi. Tanpa aku sadari, setelah selesai berbicara, wanita itu kembali duduk di bangku ruang tunggu. Kali ini posisi duduknya agak dekat denganku. Wanita itu tiba-tiba bertanya, "Mas juga sedang menunggu keluarga yang sakit?" Katanya.
Aku pun menjawab, "Iya, mbak, ibuku sudah seminggu opname di rumah sakit ini."
"Ibunya sakit apa, mas?"
"Gangguan fungsi ginjal, mbak,"
"Aku juga sedang nungguin ibu, mas,"
"Ibunya sakit apa, mbak?"
"Serangan jantung."
Lama kami ngobrol, tanpa terasa waktu sudah menunjukkan pukul 02:30 malam. Menjelang dini hari. Suasana yang semula dingin pun tak lagi terasa oleh obrolan hangat kami berdua. Dan melalui obrolan itu, ia menjelaskan jika ibunya baru kemarin siang masuk rumah sakit itu.
Di tengah-tengah obrolan kami, dari ruang sebelah lamat-lamat terdengar suara langkah kaki orang berjalan. Dan langkah kaki itu terdengar semakin jelas dan dekat. Namun kuarahkan pandangan ke lorong kanan dan kiri tak ada seorang pun yang berjalan ke arah kami. Kami saling pandang. Tiba-tiba dari belakang terdengar suara yang membuat kami kaget. "Belum tidur, Pak?" Ternyata suara seorang satpam rumah sakit yang sedang patroli itu menyapaku. Aku pun menjawab, "belum, pak." Dan aku pun tak lagi merasakan aura mistisnya rumah sakit.
Waktu berjalan begitu cepat. Mungkin karena aku ada teman baru di sana, tak terasa aku sudah dua Minggu tinggal di rumah sakit umum dan syukur Alhamdulillah keadaan ibu pun berangsur membaik.
Dua Minggu tinggal di rumah sakit, seminggu terakhir kemudian aku bertemu dengan seorang teman untuk berbagi cerita dan pengalaman. Dan akhirnya kami pun harus berpisah karena dokter sudah memperbolehkan ibu untuk pulang. Sementara wanita yang kutemui di malam itu masih tertinggal di rumah sakit karena ia masih menunggui ibunya yang masih dirawat di rumah sakit.
Bulan purnama di atas rumah sakit umum daerah. Pengobat resah di kala hati sedang gelisah. Penghibur diri di tengah dinginnya malam yang sunyi sepi. Purnama perlahan pergi, meninggalkan malam yang penuh memori. Akankah dapat kujumpai ia di kemudian hari? Kuharap dapat kujumpai kembali ia di antara kelopak kembang yang bermekaran di sudut-sudut taman.
Wahaha. Hebat. Awalnya saya sudah berfikir ini cerita horor. Semoga Ibu cepat sembuh ya.
BalasHapusWah,, syukur Alhamdulillah ibu sudah bisa kembali kerumah..
BalasHapusEhem..MMM,,!? Sepertinya ada ruang kosong tersisa untuk gadis spesial di rumah sakit..! 🙄🤭
Ciee jumpa pada pandangan pertama yg menyisakan rasa rindu, sempat minta nomor WA-nya ga hihii
BalasHapusjadi gini mas. tak pikir ini cerita mistis soalnya ada pintu yg gedorsendiri dan hembusan angin yg kencang padahal gak kencang.
BalasHapusdi sana ketemu sama wanita dan jadi teman baru dan akhirnya pisah karena sudah sembuh ibunya.