Dewi Wulan Sari
Oleh : Djacka Artub
"Pergilah kalian dari sini! Aku tidak mau menatap wajah kalian lagi.!!" Suara serak seorang wanita tua, lantang memecah gelap malam. Nyai Manyura murka karena ruang rahasia tempat ia bersemedi, dimasuki oleh muridnya yang paling kecil. Dewi Nawang Sari. Tempat itu tidak boleh dimasuki oleh siapapun. Termasuk seorang anak kecil.
Di tengah hutan belantara pada sebuah perbukitan, tiga orang gadis, Dewi Wulan Sari, Dewi Nilam Sari, dan Dewi Nawang Sari, meraba pepohonan mencari celah jalan agar tak terjatuh.
Malam yang tak bersahabat. Gemericik gerimis dan kilatan cahaya yang disertai gemuruh petir mengawal perjalanan tiga gadis itu dari padepokan kecil di tengah hutan.
Tiga orang gadis kakak-beradik diusir oleh gurunya. Sang guru marah karena Nawang Sari yang belum mengerti tentang pantangan dan larangan, memasuki ruang rahasia milik sang guru. Meski Dewi Wulan telah memohonkan ampunan dari sang guru atas tindakan adiknya yang paling bungsu, namun Nyai Manyura telah terlanjur murka. Sehingga ia tetap pada pendiriannya. Mengusir ketiga muridnya yang bersaudara itu, yang ia selamatkan saat para penduduk kampung dibantai oleh segerombolan perampok. Termasuk kedua orang tua Dewi Wulan Sari dan saudaranya.
"Kak,... Nawang takut..." Dengan memegang erat tangan Dewi Nilam Sari, kakaknya yang kedua, Nawang Sari menggigil kedinginan yang bercampur rasa takut.
Sementara Dewi Wulan Sari, saudara tertua, ia terus bersemangat membabat rerumputan yang menghalangi jalan.
Nilam Sari menghibur sang adik. "Nawang jangan takut ya. Kita pasti akan selamat." Katanya. "Lihat kakak Wulan. Dia sangat pemberani 'kan?" Hibur Nilam, menunjukkan adiknya pada sang kakak yang berada di depan.
Sebuah kilatan cahaya yang terang menyilaukan datang tiba-tiba. "DUUAARRR...!!!" Gelegar suara petir bergemuruh menggema bersahutan di antara pepohonan. Nawang Sari memeluk tubuh Nilam. Dewi Wulan berhenti sejenak. Ia melihat ke belakang, memastikan kedua adiknya baik-baik saja. Dewi Wulan melanjutkan membabat ranting-ranting kecil untuk mencari jalan. Nilam dan Nawang Sari berjalan perlahan mengikutinya.
Bebatuan terjal nan licin, membuat mereka berhati-hati menapakkan kaki untuk berjalan. Lengah dan terpeleset, mereka akan jatuh ke curamnya jurang yang dalam.
"Kak... Kak Wulan..." Panggil Nilam Sari. "Kita istirahat dulu. Kasihan Nawang. Dia kelelahan." Pintanya. Namun tak dihiraukan oleh Dewi Wulan. Dengan sigap dan tetap diam, Dewi Wulan membabat semua dahan dan ranting yang menghalangi jalannya. Rasa dendam dan sakit hati atas perlakuan sang guru, membuat Dewi Wulan melampiaskan kemarahannya pada setiap ranting dan rerumputan di hadapannya. Ia babat habis dengan pedang di tangannya.
Dewi Wulan berjalan semakin jauh. Tak terdengar lagi rengekan Dewi Nawang Sari yang sejak awal ketakutan. Serta permintaan Dewi Nilam Sari yang sedari tadi mengajaknya untuk sejenak beristirahat. Ia menoleh ke belakang. Sepi. "Nilaaam..... Nawang....!" Pekik Dewi Wulan. Namun tak ada sahutan.
Perasaan khawatir menjalari naluri Dewi Wulan. Ia merasa menyesal dan khawatir dengan keselamatan kedua adiknya. "Nilaaamm.... Nawaaanggg....." Suara Dewi Wulan kembali menggema bersahutan dengan gemuruh suara petir, memecah kesunyian malam.
Dewi Wulan bersandar pada sebatang pohon. Ia lelah. Pandangannya menatap rerimbun lebat dedaunan. Gelap gulita malam membuat warna rerimbunan menghitam. Sesekali nampak hijau terkena kilatan cahaya petir.
"AUUUUUUU......." Suara serigala mengaum dengan alunan nada yang menyayat, menambah kengerian malam. Kekhawatiran Dewi Wulan kembali memuncak. Ia teringat suara Nawang Sari yang merengek ketakutan. "Kak, Nawang takut", suara adiknya kembali terngiang di telinganya.
Dewi Wulan bergegas menerobos gelap malam. Ia berlari. Jatuh terpeleset tak menghentikannya. Ia bangkit dan berlari kembali ke tempat semula. Kilatan cahaya menghentikan langkahnya. Ia mengamati tidak ada bekas tebasan pada ranting dan rerumputan yang ia babat sebelumnya. Ia tersesat.
Di bawah sebuah batang pohon besar, Dewi Wulan menangis. Ia menyesal. Ia teringat pesan kedua orang tuanya untuk selalu menjaga adik-adiknya. "Ayah ... Ibu... Maafkan Wulan. Wulan telah lalai. Wulan hanya menuruti rasa ego dan emosi."
"Dendam dan amarah telah menjauhkan kamu dengan kedua adikmu. Rasa penyesalan-lah yang kini akan kau rasakan." Sebuah suara datang dari arah yang tak diketahui. Suara itu menggema. Dewi terperanjat dan berdiri. "Siapa kau? Tunjukkan wujudmu!" Teriak Dewi Wulan Sari.
Disaat hati sedang emosi jangan ikuti kata hati karena penyesalan tiba dibelakang ketika emosi di hati reda. Ya... lantas gimana lagi??
BalasHapusMikir sambil nyedu kopi. Hehe
Saat sedang emosi, rasa ego telah menguasai diri. Sehingga penyesalan akan datang.
HapusKalau lagi emosi jangan bikin kopi ya. Ntar kopinya rasa kaldu ayam. Wkwkwkwk
Bener tuh, ketika hanya mengikuti rasa dendam dan amarah, penyesalanlah yang pada akhirnya didapat oleh Dewi Wulan Sari.
BalasHapusAda lanjutannya nggak Om?
Yaps... Dendam dan amarah hanya akan membuat rasa sesal.
HapusLanjutannya In Sya Allah ada.
Ditunggu aja ya. Hehe
Dari ketiga nama tersebut rasanya saya kenal, waktu tinggal di kayangan dulu, but never mind 😂
BalasHapusKira-kira siapakah gerangan manusia yang hadir itu..?
Bikin penasaran yang baca ?
Sampai pegel buat artikel ini jam 03.30 pagi he..he.. 😂
Oiya? Sampeyan kenal yang mana, mas?
HapusWaktu itu sampeyan tinggal di kahyangan gang berapa? Haha
Sepertinya cerpen kali ini cukup serius, tadinya saya pikir bakal ada campur tangan teknologi seperti cerita sebelumnya, misalnya dewi wulan bawa senter atau senter dari hp, ternyata tidak, Hehe!
BalasHapusCerita mengalir dan menghanyutkan pembaca, ada rasa penasaran utk mengikuti kelanjutannya apa yg akan terjadi dgn ketiga gadis tersebut? ta tunggu sambungannya. Hehe!
Sekali sekali bikin yang serius, kang. Biar nggak terlalu terlihat kalau aku suka cengengesan.. wkwkwk
HapusWah, seru juga ceritanya.
BalasHapusBlognya udah aku follow, followback jika berkenaan ya :)
Salah satu sifat manusia yang sangat fatal, yaitu saat mengikuti perasaan emosinya dan akan lebih fatal lagi disaat amarah yg membara ia mengamb keputusan
BalasHapussemoga cerita ini menjd ingatan utk kita semua
apa ketiga gadis itu adik seperguruanku waktu di TK TUNAS RIMBA kulone SMP,hehe
BalasHapusya memang benar, jangan sampai kita mengambil keputusan di saat yg kurang tepat.., terutama pas lagi emosi karena itu adalah keputusan yg masih buta..! bukan si buta dari goa hantu lho ya? ha-ha-ha..
Yaaah bersambung, padahal masih penarasan nih... Gan saya butuh parter seperti blog agan untuk blog saya http://ichan27.web.id, supaya tambah melengkapi blog saya yang bertemakan Cerita silat.. Yuk gan saling blogroll seperti di mwb..
BalasHapusPenyesalan memang selalu datang terlambat.
BalasHapus