Pedagang Kaki Lima
Oleh: Djacka Artub
Cuaca sore yang tak bersahabat. Hujan turun mengguyur ibu-kota dengan lebatnya. Seorang pria bertubuh kurus, dengan jalannya yang terseok-seok ia menembus derai hujan bersama gerobak jualannya. Ia tak peduli banyak mata memperhatikannya dari dalam gedung mewah maupun pertokoan. Jalan hidup manusia sudah ada yang mengatur. Jika pun boleh memilih, tentu pun ia tak ingin menjalani hidup seperti yang dijalaninya saat ini. Ia ingin seperti mereka yang sedang asyik nongkrong di cafe maupun restoran mewah di kala hujan turun di sore hari. Namun apalah daya, pria bertubuh kurus itu hanyalah orang kampung yang terlahir dari keluarga kurang mampu. Ia hanya lulusan SMP yang tak memungkinkan untuk mendapat pekerjaan yang layak.
Hujan masih saja mengguyur dan semakin deras. Dengan jas hujannya yang telah robek di bagian pundak, pria itu menata tenda tempatnya berjualan. Sesekali ia mengibaskan bagian bawah jas hujan yang dikenakan saat menghalangi aktivitasnya menata tenda.
Sejenak turun hujan mulai reda. Pria itu mempercepat gerakannya menata tenda sebelum hujan kembali turun. Angkasa masih menampakkan wajah murungnya tanpa secercah senyum cahaya langit. Mendung tebal masih setia bergumul dengan senja. Kilat bersahutan dan mimbulkan kengerian ketika suara petir menggelegar dengan angkuhnya.
Kumandang adzan maghrib terdengar sahydu di antara rintik hujan yang mulai turun kembali. Tenda kaki lima masih setengah selesai didirikan. Seorang pria bertubuh kurus itu menghentikan sejenak aktivitasnya. Ia mengambil sebuah bungkusan kecil dari tas kresek berwarna putih. Dengan agak mempercepat langkahnya, pria itu berjalan menuju bangunan masjid yang terdapat di perkampungan yang tak jauh dari tempatnya berjualan.
Selesai menunaikan kewajibannya, pria itu kembali menyelesaikan aktivitas membuka lapak jualannya. Hujan kembali mengguyur deras. Pria itu dengan cekatan menata meja, kursi, dan lain-lain perlengkapan jualannya.
Aktivitas membuka lapak pun selesai. Duduk termangu di samping gerobak jualannya, ia menunggu calon pembeli. Memperhatikan keadaan tempat jualannya, pria itu menghela nafas. "Bagaimana ada pembeli jika keadaannya seperti ini," gumamnya.
Akibat hujan yang mengguyur deras sejak langit mengatup senja, sekitar jalan raya tempat pria itu berjualan tergenang luapan air dari gorong-gorong. Banjir.
Namun tak lama berselang, luapan air yang menggenangi jalan raya pun mulai surut. Tak seperti pada tahun-tahun terdahulu. Banjir bisa bertahan lama karena gorong-gorong tak mampu menampung luapan air hujan.
Tiga-perempat malam pria itu menjaga lapak jualannya. Mungkin karena hujan dan banyak genangan-genangan air, tak banyak pengunjung yang datang untuk membeli makanan. Para pemilik duit lebih memilih memesan makanan melalui resto-resto yang mempunyai layanan pesan-antar.
Di pengujung malam atau lebih tepatnya menjelang dini hari, pria itu menutup lapak jualannya. Meski hasil jualan malam ini tak sesuai harapan, namun ia tetap bersyukur karena hasil dari jualan semalam masih bisa untuk modal jualan berikutnya.
Terkadang jika melihat kondisi yang seperti ini, pria itu terpikir untuk kembali ke desa, ke kampung halamanannya. Namun niat untuk kembali ke kampung halaman itu terkadang pula menghantui perasaannya karena di desa ia tak mempunyai lahan untuk bertani. Banyak sudah lahan pertanian yang kini menjadi perkampungan penduduk, dan juga banyaknya pabrik-pabrik yang didirikan sehingga lahan pertanian menjadi sempit. Belum lagi, ketika harus berpasrah dengan harga hasil panen. Ketika musim panen tiba, harga hasil pertanian selalu anjlok. Sedangkan saat musim tanam, harga bibit dan pupuk melambung tinggi. Tenaga para petani selalu saja terbuang sia-sia. Hasil panen hanya cukup untuk menambal modal saat musim tanam. Karena Nasib petani yang semakin tergusur dan selalu dipermainkan oleh harga pasar sebab harus melawan barang impor itulah pria itu bertekad merantau ke kota meski hanya sebagai pedagang kaki lima.
Namun saat ini, menjadi pedagang kaki lima pun banyak menemui kesulitan. Terkadang juga harus bersitegang dengan aparat ketika ada razia.
Janji kesejahteraan yang pernah terdengar berkumandang, hanyalah sebuah dendang untuk menggaet simpatisan. Yang terjadi selanjutnya hanyalah Ingkar. Dan nasib wong cilik masih tetap saja harus memikul beban yang semakin berat karena harga kebutuhan yang melonjak tajam, sementara penghasilan selalu pas-pasan.
"Ah ... Memang nasib wong cilik selalu saja menjadi tumbal kekuasaan." Ujar pria itu lalu menghela nafas.
Janji kesejahteraan yang pernah terdengar berkumandang, hanyalah sebuah dendang untuk menggaet simpatisan. Yang terjadi selanjutnya hanyalah Ingkar. Dan nasib wong cilik masih tetap saja harus memikul beban yang semakin berat karena harga kebutuhan yang melonjak tajam, sementara penghasilan selalu pas-pasan.
"Ah ... Memang nasib wong cilik selalu saja menjadi tumbal kekuasaan." Ujar pria itu lalu menghela nafas.
wah fenomena yang bentar lagi bakal sering terjadi nih om. secara bentar lagi misimnya pemilihan ya. gitu deh memang nasib jadi wong cilik om.
BalasHapusBentar lagi kita akan mendengar dendang2 penghibur ya, Non. Hahaha dan selanjutnya zonk. :-d
HapusNasibnya kok seperti diri saya, ingin pulkam tidak punya sawah. Bertahan ,rasanya kok tersiksa. Usaha semakin berat saingannya.
BalasHapusNah, kan ... Sama juga kayak saya.
HapusMasih mending kang Djangkar punya usaha sendiri. Sedangkan saya, hanyalah seorang kuli.
Apapun itu harus di syukuri ya, Mas. Terkadang hidup itu ada kalanya diatas ada kalanya dibawah. Tapi tanpa syukur, apapun kondisinya hidup terasa ada yang kurang aja ya, Mas.. he
HapusNasib wong cilik kang, tetep aja cilik lawong gizine kurang hehe ...
BalasHapusYg penting meski jadi orang kecil bukan berarti semangat jga jadi kecil, tetep berusaha aja, tetep semangat dan jangan putus asa
Merdeka ...
Sentilanya mantab, kalo gk mempan di sentil sekali kali kasih bogeman kang haha pisdd
Lha wong tiap pagi sarapane menyok godok, kang. Jelas ae gizine kurang. (Aku dewe iki) :-d
HapusSemangat? Yo jelas tetap semangat, kang. Nuruti gengsi, ora mangan. Haha
Sentilan?
Ouwh,.. .
Heeheheee
Lahan pertanian semakin sedikit karena sudah menjadi lahan pemukiman.
BalasHapusDi kota pun tidak cukup baik untuk mencari sumber penghidupan, walau hasil tak seberapa jauh dari harapan yang diinginkan jadi pedagang kaki lima yang penting masih ada rasa syukur pada sang pemberi kehidupan. Semoga kelak ada keajaiban dalam kehidupan wong cilik
Di desa maupun di kota tidak cukup baik untuk mencari sumber kehidupan, akhirnya berangkat ke luar negeri. Dan di luar negeri pun terkadang harga diri bahkan nyawa menjadi taruhan.
HapusAh,... lebih baik bersyukur berapa pun rejeki yg kita terima. Hehe
Aamiin. .. semoga kelak ada keajaiban yg dpat mengangkat derajat Wongso cilik.
Begitulah jakarta, yg pasti selama kita hidup ada rezekinya kok
BalasHapusYap. Setiap orang yg hidup di dunia ini sudah pasti ada jatah rezekinya. Hanya jumlahnya saja yg membedakan. Hehe selagi kita mau berusaha, Insya Allah ada hasilnya. Meskipun sedikit.:-d
Hapushe...he.. yang terpenting tetap semangat berjualan dan tak pantang menyerah :D
BalasHapusIya, mas. Meski diguyur hujan, tetap semangat dorong gerobak. :-d
HapusDiajak arissn gak gelem lha kok melok sak sempate.wkkk
BalasHapusHahaha. . Terlalu sibuk, mas. Malah nduwe utang akeh ngko. :-d
HapusSekarang kebutuhan hidup ngga murah ya,mas.
BalasHapusUang 100 ribu kalo dipecah ... blesss ... rasanya cepat menguap buat memenuhi keseharian.
Balik belum tentu jadi apa-apa, merantau belum tentu dapat apa-apa. Oalah :(
BalasHapusAku juga ngga gengsian.
BalasHapusMakan nongki di warung kaki lima juga ya hayoo aja ...
Ngga kudu di resto mahal.
Lihat sikon dan kondisi keuangan juga ☺